Kamis, 27 Agustus 2009

sebuah puisi untuk wanita perkasa (Ibu)

tangis itu telah berubah menjadi suatu suara tegas nan lantang
kulit halus telah menjadi otot-otot yang liat
manja itu hanya ada ketika sakit
dan belaian itu kini terbungkus oleh kulit yang telah tua

ada sebuah keindahan ketika kudengar petuahmu
terkadang kesal, terkadang bosan
namun suara itu adalah mercusuar, selalu benderang dalam pekat

tanpa dirasa, kumis ini mulai tumbuh
jakunpun mulai menonjol
pertanda siap menatang takdir
segala bekalmu telah siap menemaniku

di kala senja, ketika burung bersarang kembali
kau tatap mata anakmu ini, seolah menaruh harap.
seolah memaksa, tatapan itu nanar
mengharap aku tegak dan kuat menahan angin dari selatan ketika badai

waktu terlalu cepat meninggalkan aku
sebentarpun aku tak bisa rehat untuk melemaskan persendian
dan kini semua semakin renta
renta dan kemudian habis

> read more..

Senin, 24 Agustus 2009

Setitik Noktah dari Atap Tertinggi

kabut itu sedikit menebal,
ketika kaki kami melewatinya
udara itu lebih dingin ketika kami menyumbunya
dan sebuah tekad hanyalah sebuah tekad

ketika jiwa ingin menggapai singgasana awan
namun kaki letih dengan segala beban
ketika mata terbelalak puas badan ini ambruk

ranukumbolo akan selalu tenang,
ketika badai menerjang hutan pinus sekitarnya
oro-oro ombo akan selalu menampilkan kegersangannya yang dingin
dan badai pasir itu akan selalu berputar di titik tertinggimu

ketika kami terseok-seok menahan beban,
ketika udara dingin menguliti kulit kami,
ketika keletihan mengubur segala senyum dan tawa
namun, ketika hangatnya api menyala, disitu persahabatan kami berada.


ranupani, 18 Agustus 2009

> read more..