Selasa, 25 Mei 2010

ada kisah dari ujung genteng

Jakarta masih mempertontonkan permasalahan kehidupannya yang komplek. Dari kemacetan, para pengemis, kepadatan penduduk sampai pejabat departemen pajak yang korupsi uang Negara milyaran rupiah. Memang begitulah hidup. Terkadang kesemuanya itu menjadi berubah dengan materi. Bosan memang melihat kesemrawutan ibukota seperti itu.

Angin semilir berputar di depan pintu masuk museum Purna Bhakti TMII.
Jam menunjukan pukul dua belas tepat.. rencananya malam itu aku dan surya akan pergi melepas penat ibukota ke daerah yang beratmosfir lebih segar. Tempat yang kami tuju yaitu Pelabuhan Ratu.

Pelabuhan Ratu merupakan sebuah pantai di selatan Sukabumi. Sebuah pantai yang memiliki ombak lumayan besar. Kami berangkat dari jakarrta dini hari dan sampai di pertigaan cikidang cibadak pukul setengah tiga. Karena mendapat kabar bahwa masih terjadi pembegalan di sekitar perkebunan kelapa sawit daerah cikidang, terpaksa kami berhenti di SPBU, menunggu pagi sambil istirahat sejenak.

Pagi masih benar-benar dingin ketika kami melaju dengan kecepatan 60 km/jam menuju pelabuhan Ratu. Pagi itu kami tepis rasa dingin yang menusuk ubun-ubun kami. Entahlah, orang mencibir bahwa kami gila karena pergi ke PR berdua saja. Namun, bagi kami tak masalah berapa pun orangnya yang penting cara menikmatinya.

Kami sampai di pelabuhan ratu ketika hari mulai ramai oleh klesibukan para penduduk sekitar. Kami hirup aroma teh panas di warung pinggir jalan dengan nikmat. Ditemani sepiring nasi kuning ditambah sebutir telur balado dan 2 gorengan pagi itu begitu indah.

Setelah sarapan di warung mang asep kami mampir ke minimarket untuk membeli keperluan. Disambut seorang penjaga yang ramah, walupun di kantung matanya jelas terlihat ia lelah. Mungkin ia menjaga minimarket itu di malam hari.

Angin yang berhembus bersama deburan ombak membelai kami dengan lembut. Angina tersebut seolah menngajarkan kepada kami bahwa hidup ini indah, hidup ini harus dinikmati.

Di samping villa besar kami berhenti. Kami arahkan motor kami melewati pasir. Dengan payah si cebol melaju di medan pasir. Kami parker motor lantas menuju ombak yang saling kejar mengejar.

Di depan kami samudra hindia terhampar biru bak tak berujung. Esok adalah hari nelayan, aku menegetahuinya dari penduduk yang kutemui sewaktu si cebol kuparkirkan.
Hari nelayan adalah hari dimana para nelayan mengadakan upacara tahunan untuk bersyukur atas rejeki yang diberikan sang pencipta.

Setelah bosan dengan tempat di samping villa besar, kami mencari lokasi lain di pantai ini yang tak sama dengan tempat yang pertama. Ketemu. Sebuah pantai yang lumayan bagus untuk sekedar berfoto-foto. Lokasinya di belakang warung yang menjual berbagai makanan seafood.

Sebelum kami terjun kembali menyusuri pantai dan bercumbu dengan ombak, kami sempatkan untuk bertanya kisaran harga penginapan atau losmen di sekitar sini kepada pemilik warung. Namun mereka kurang mahfum harga pastinya. Mereka hanya memberikan harga tebaan mereka, Rp. 150.000,- sampai Rp. 300.000,-.

Memang harga standar untuk ukuran tempat wisata. Namun justru tak standar untuk ukuran kantong kami yang pas-pasan. Alternative lain ibu warung tawarkan untuk menginap di rumah miliknya, ketika kami Tanya harga ibu tersebut mengatakan, “ ibu mah enggak matokin harga, tamu suka ada yang ngasih seratus ribu ada juga yang dua ratus”. Sama saha dengan harga losmen pikirku.

Tak mendapat solusi untuk masalah tidur, kami berdua berjalan menyusuri pantai. sebelumnya kami telah mengganti celana jeans dengan celana pantai. Namun naas, surya tak membawanya. Beruntung aku membawa dua. Alhasil kami berdua berjalan menyusuri pantai sambil sesekali menjadi foto model murahan.

Ombak memang sedang pasang ketika surya berenang. Perasaan terasa was-was ketika surya dengan riangnya bergelut dengan buih-buih ombak yang saling kejar mengejar menuju daratan. Maklim, ombak sedang pasang kala itu.

Dari kejauhan kulihat ibu-ibu warung yang tadi menawarkan rumahnya untuk kami mendekati kami. Ada apa pikirku. Setelah beberapa langkah di depanku ibu itu berujar dalam bahasa sunda. Ia mengatakan untuk tidak berenang dikarenakan ombak sedang pasang. Ia menyarankan kepada kami untuk berenang berbarengan dengan anak-anak pribumi nanti setelah mereka pulang sekolah.

Pulang sekolah sekitar pukul 12.30 pikirku. Sedangkan sekarang masih pukul 09.30 pikirku. Ah. Surya telah berada di pinggir pantai dan tak lagi berenang. Aku berjalan mendekati nelayan yang sedang menebar jala di pinggir pantai. Sambil sesekali ku potret beliau, aku ajukan sebuah pertanyaan kepada nelayan tersebut tentang akomodasi yang bisa ditempuh untuk mencapai ujung genteng.

“Cukup jauh jang, kira-kira 4 jam perjalanan lah” ujarnya. “Timbul pula rumor masih terjadi pembegalan sepeda bermotor di daerah sekitar jampang kulon”. Tambahnya..

hari masih sekitar pukul tiga ketika kaki kami mengijak pasir putih ujung genteng. Hawa panas yang ditimbulkan oleh pantulan radiasi sinar ultraviolet yang dipantulkan oleh air laut terasa memanggang kulit. Namun layaknya salju di gurun sahara, pemandangan birunya air laut dan cerahnya angkasa seolah meneduhkan hawa panas tadi. Seperti anak kecil yang mendpatkan mainan baru kami berjingkrak-jingkrak girang sambil narsis berfoto.

Perjalanan memang melelahkan. Ternyata dugaan nelayan bahwa mencapai ujung genteng sekitar 4 jam tidak tepat. Hanya sekitar 2,5 jam. Memang medan yang dilewati memiliki pemandangan yang indah. Jalanan berada di atas bukit sedangkan pantai berada nun di bawah sana. Indah sekali.

Jalan aspal yang kami leweti banyak melewati hutan yang di pingirannya menganga lebar jurang puluhan meter. Jarang juga kami jumpai rumah penduduk. Mungkin wajar jika dikatakan masih banyak terdapat begal.

Sore menjelang. Seliter beras kami sulap menjadi dua piring nasi. Telur kami goreng. Dan mie goreng kami menemani sore yang indah di pesisir pantai ujung genteng. Memang trangiaku menjadi teman sejati saat perjalanan kemanapun aku pergi.

Ujung genteng memang pantai yang indah. Birunya lagit dan jernisnya air memberikan kesan bahwa pantai ini masih asri. Keasrian itu juga ditampakan dengan masih dijumpainya burung camar laut berwarna hitam dan ada juga yang berwarna putih terbang rendah di atas cipratan ombak.

Namun keindahan dan keasrian itu kurang mendapatkan perhatian yang cukup. Di pinggir pantai yang berpasir banyak sekali dijumpai ranting-ranting kayu dan sisa sampah pengunjung yang mengganggu pemandangan. Banyaknya ranting dan sampah itu membuat suasana menjadi tidak nyaman. Enyah siapa yang harus disalahkan dalam hal ini.

Potensi wisata alam ujung genteng tidak mendapat perhatian yang optimal dari pemerintah daerah kabupaten sukabumi. Hal ini ditandai oleh masih banyaknya sampah di pesisir pantainya. Tidak tersedianya mandi cuci kakus (MCK), padahal retribusi yang dibebankan kepada para pengunjung dinilai cukup. Yaitu lima ribu untuk kendaraan bermotor dan sepuluh ribu untuk mobil.

Senja menghampiri jiwa kami yang letih. Semburat awan jingga terlukis di ufuk barat. di depan kami indahnya matahari terbenam seolah melupakan kami pada hiruk pikuk rutinitas kami di Jakarta yang cukup membosankan. Awan menjadi jingga tak beraturan. Sang pelukis adiulung sekalipun tak dapat menyamai indahnya suasana kala itu. Walaupun fenomena itu berjaan begitu cepat, kepuasan batin kami terpenuhi.

Malampun menjemput sinar terang yang dicipratkan sang mentari. Malam itu kami berdua banyak sekali berbicara tentang hal-hal remeh temeh yang tak terbesit di Jakarta. Malam itu, kami dininabobokan oleh nyanyian alam yang mampu mengubah kepenatan kami. Malam itu jutaan, bahkan milyaran gemintang tersebar tidak cukup waktu semalam untuk menghitungnya.

0 komentar: